iklan

Senin, 31 Oktober 2011

KETENTUAN UMUM TENTANG KEWARISAN



A.    PENGERTIAN
Secara bahasa kata warasa memiliki beberapa arti pertama “mengganti” (QS. Al-Naml) yang artinya “Sulaiman menggantikan kenabian di kerajaan Daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya.” Kedua “memberi” (QS. Az-Zumar) dan ketiga “mewarisi” (QS. Maryam).
Sedangkan secara terminologi hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan. Mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang berhak.
Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.[1]
Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah “Farald” bentuk jamak dari kata tunggal “faridah” artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam bagian-bagian dalam warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibukukan dalam Al-Qur’an. Secara etimologi kata farold yang merupakan jamak faridah dengan makna maf’ul (objek) mafrud yang artinya “Sesuatu yang ditentukan jumlahnya” secara teminologi disebutkan hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi.[2]
1.      Farold dalam Al-Qur’an
Allah SWT menetapkan hak kewarisan dalam Al-Qur’an dengan angka yang pasti yaitu ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 dan menyebutkan pula orang yang memperoleh harta warisan menurut angka-angka tersebut.
Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang langsung atau tidak langsung berkenaan dengan kewarisan seperti surah AN-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33, dan 176; serta surat Al-Anfal ayat 75. Namun yang langsung berbicara tentang furudh/farald (rincian bagian dalam waris) hanya 3 ayat dalam surat An-Nisa yaitu ayat 11, 12, dan 176.
2.      Farald dalam Sunah
Sunah nabi pada dasarnya muncul untuk memberikan penjelasan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang memerlukan penjelasan, baik penjelasan dalam bentuk penjelasan arti maupun dalam bentuk membatas memperluas pengertian.
Hadits nabi yang berkenaan dengan farald ini tidak banyak jumlahnya. Contoh hadits nabi adalah sebagai berikut :
الحقو الفر ائض باهلها بقى فهو لاولى رجل ذكر
“Berilah bagian yang telah ditentukan itu kepada yang berhak menerimanya dan kelebihannya berikanlah kepada orang yang terdekat dari laki-laki kalau garis kerabat laki-laki.
B.     HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN WACANA KESEJAHTERAAN
Hukum kewarisan Islam diturunkan disaat yang tepat, baik itu yang merupakan informasi yang baru, maupun ayat-ayat yang mencabut berlakunya hukum yang telah mapan. Ilustrasi secara garis besar di bawah ini menunjukkan ‘kearifan sejarah’ agama Islam dalam merespon kenyataan sosial yang terjadi waktu itu.
1.      Hukum Kewarisan Sebelum Islam
Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Isam itu diwarnai dengan kultur Badui yang sering disebut dengan Nomad Society, dimana Badui dalam hal waris anak-anak baik laki-laki terlebih perempuan dilarang mewarisi peninggalan keluarganya. Kenyataan yang seperti inilah yang nanti akan dihapus oleh Islam mereka tidak mau menghargai kesederajatan antara kaum perempuan dan laki-laki.
Dasar pewarisan yang berlaku pada masa itu adalah :
a.       Al-Qorobah atau pertalian kerabat
Pertalian kerabat di sini tidak berlaku mutlak seperti ketika Islam telah diturunkan, ahli waris lelaki yang dewasa saja yang diberi hak kewarisan. Karena merekalah yang secara fisik mampu memainkan senjata menghancurkan musuh, sehingga anak-anak dan wanita tidak menerima hak-haknya, karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Adapun mereka yang mendapat hak mewarisi adalah :
-          Anak laki-laki
-          Saudara laki-laki
-          Paman
-          Anak laki-laki paman
b.      Al-hilf wa al-muaqodah atau janji setia
Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian kerja sama anara dua orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain, untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal. Tujuanya untuk kerja sama, saling menasehat dan memperoleh rasa aman. Apabla salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya, dengan ketentuan menerima 1/6 bagian baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris lainnya.
c.       At-Tabanni atau adopsi (Pengangkatan anak)
 Dan kehairan mereka (anak angkat) dimasukkan sebagai keluarga besar bapak angkatnya, yang status hukumnya sama dengan anak kandung, praktis hubungan kekeluargaan dengan ayah kandungnya terputus. Dan apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia maka yang lain tidak dapat mewarisi harta peninggalannya sebagai tradisi yang telah membudidaya.
2.      Hukum Kewarisan Masa Awal Islam
Hukum kewarisan pada masa awal Islam belum mengalami perubahan. Ini dapat dimengerti karena masa-masa awal Islam prioritas utaam ajarannya adalah membina akidah atau keyakinan pemeluknya, yaitu mentauhidkan Alah yang Esa.
Melihat kenyataan masyarakat yang belum siap itu, maka ayat-ayat yang mengatur soal warisan belum cukup tepat untuk diturunkan dan ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat yang menganjurkan dan memberi rangsangan agar mengikuti hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah.
Sehingga dasar-dasar yang dijadikan sebab-sebab mewarisi pada masa awal Islam ini antara lain :
a.       Al-Qarabah (pertalian kerabat)
b.      Al-Hilh wa al-Mu’aqadah (janji setia)
c.       Al-Tabanni (adopsi atau pengangkatan anak)
d.      Hijrah (Makkah ke Madinah)
e.       Muakhah (ikatan persaudaraan antara kaum muhajirn dan kaum anshor)
Hijrah dijadikan salah satu sebab mewarisi pada masa awal Islam didasari oleh strategi dakwah untuk tidak mengatakannya politis, selain untuk menambah motivasi juga agar mereka bersedia ikut hijrah, juga demi memperbesar kekuatan komunitas Islam yang waktu itu baru diikuti lebih kurang 200-an orang.
Muakhah (iakatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor (yang memberi pertolongan) adalah sebagai penghargaan terhadap sambutan dan dukungan kaum anshor dan untuk lebih mempererat tali persaudaraan antara mereka dan kaum muhajirin, Rasulullah SAW memutuskan bahwa ikatan persaudaraan diantara mereka sebagai sebab saling mewarisi, apabila salah satu dari mereka meninggal dunia.[3]
C.    DASAR-DASAR KEWARISAN ISLAM
Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang sama kuat yaitu ayat-ayat al-Qur’an, sunah Rasulullah, ijma’ dan ijtihad (pendapat sahabat). Dan dalam konteks ini yang dijadikan dasar-dasar kewarisan Islam antara lain :
Menurut hukum Islam (yang disebut juga dnegan Ashabul Miros)
1.      Qorobah (نَسَبٌ حَقِيْقِى  )
Pertalian hubungan darah adalah pewarisan yang utama. Pertalian ke atas di sebut ushul yaitu leluhur yang menyebabkan adanya simati termasuk ibu, bapak, kakek, nenek, dan seterusnya, pertalian lurus ke bawah disebut furu yaitu anak keturunan dari simati termasuk anak-ana, cucu, cicit, dan sebagainya. Pertalian menyamping yang disebut hawasi aitu saudara-saudara, paman, bibi, keponakan dan sebagainya.
2.      Semenda (  مُصَاهَرَةٌ)
Perkawinan yang syah menurut syariat menyebabkan adanya saling mewarisi antara suami dan istri, apabla diantara kedua ada yang meninggal. Perkawinan adalah sah apabila syarat-syarat rukunnya terpenuhi meskipun belum terjadi hubungan kelamin antara suami dan istri.

D.    RUKUN DAN SYARAT KEWARISAN
Rukun kewarisan ada 3 yaitu :
1.      Al-mawaris, yaitu orang yag meningal dunia baik yang mati haqiqi maupun hukmi.
2.      Al-waris atau ahli waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan si mati lantaran mempunyai dasar atau sebab kewarisan.
3.      Maurust, yaitu harta peninggalan si mati yang sudah bersih setelah dikurangi untuk biaya perawatan jenazahnya, pembayaran hutangnya dan pelaksanaan wasiatnya yang tidak lebih dari 1/3.
Syarat-syarat kewarisan :
Adapun syarat-syarat kewarisan yaitu agar ahli waris mendapat warisan itu ada 3 antara lain :
1.      Matinya muwaris (orang yang mewariskan)
2.      Hidupnya waris (ahli waris) disaat kematian muwaris
3.      Tidak adanya penghalang mewarisi

E.     HAL-HAL YANG MENGGUGURKAN HAK MEWARISI
Mewani’il irsi atau penghalang hak mewariis ialah hal-hal yang dapat menggugurkan  hak ahli waris untuk mewarisi harta warian pewarisnya. Ahli waris yang kehilangan hak mewarisi karena adanya mawani’il irsi disebut maghrum dan halangannya disebut hirman.
Mawani’il irsi ada empat maca, dan 3 diantaranya telah disepakati oleh para fuqaha.
1.    Pembunuhan
2.    Berlainan agama
3.    Perbudakan
4.    Berlainan agama [4]

Kesimpulan
Yang dapat ditarik dari pembahasan tentang konteks mawaris antara lain mawaris adalah pembagian harta. Ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam mawaris. Kewarisan telah diatur sejak awal Islam berkembang pada masa Rasululah tetapi pada masa belai Allah tidak menurunkan ayat-ayat yang mengatur tentang mawaris karena saat itu Rasulullah masih memprioritaskan untuk membina akidah atau keyakinan masyarakat. Pada masa sekarang masalah mawaris sangat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad, Drs., M.A. 1995. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta.

Syarifudin, Amir, Prof. Dr. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta.

Maruzi, Muslich, Drs. 1981. Pokok-Pokok Ilmu Waris. Semarang.




[1] Drs. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, 1995), h. 355
[2] Prof. Dr. Amir Syarifudin, Hukum kewarisan Islam, (Jakarta, 2004), h. 34
[3] Ibid., h.
[4] Drs. Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Mawaris, Semarang, 1981.

MENJUAL IDEALISME UNTUK MERAUP MATERI



  1. Hadist

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَألَ اِنَّ اُنَاسًـامِنْ اُمَّتِى يَسْتَفْقَهُوْنَ فِى الدِّيْنِ وَيَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ وَيَقُولُوْنَ: نَـاءْتِى الأُمَرَاءَ فَنُصِيْبُ مِنْ دُنْيَاهُمْ, وَتَعْتَزِلُهُمْ بِدِيْنِنَا, وَلاَيَكُونُ ذَلِكَ: كَـمَالاَيُجْتَنَى مِنَ الْقَتَارِ اِلاَّ الشَّوْكُ, كَذَلِكَ لاَ يُجْتَنَى مِنْ قُرْبِهِمْ اِلاَّ الْخَـطايَا. (اخربه ابنماجه: كتاب المقد: باب الا نتفاع باعلم واعمدبه)
                         
  1. Terjemah

Sesungguhnya diantara umatku
اِنَّ اُنَاسًـامِنْ اُمَّتِى
Memperdalam agama mereka
يَسْتَفْقَهُوْنَ فِى الدِّيْنِ
Dan mereka membaca al-Qur’an
وَيَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ
Sebagian mereka berkata: kami akan mendatangi para pemimpin
وَيَقُولُوْنَ تَـاءْتِى الأُمَرَاءَ
Sehingga kami mendapatkan harta benda mereka
فَنُصِيْبُ مِنْ دُنْيَاهُمْ
Dan kami akan menjauhkan mereka dari agama kami
وَتَعْتَزِلُهُمْ بِدِيْنِنَا
Dan itu dikatakan  (dijadikan)
وَلاَيَكُونُ ذَلِكَ
Seperti tidak akan terhindar dari pohon yang berduri

كَـمَالاَيُجْتَنَى مِنَ الْقَتَارِ
kecuali dirinya
اِلاَّ الشَّوْكُ
Demikian juga
كَذَلِكَ
Tidak bisa menghindarkan diri dari mereka

لاَ يُجْتَنَى مِنْ قُرْبِهِمْ
Kecuali kesalahan-kesalahannya
اِلاَّ الْخَـطايَا


  1. Biografi Perawi
Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harist yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau di kenal dengan nama ibnu Abbas. Selain itu, beliau dikenal dengan nama Ibnu Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti Abbasiyah.
Ibnu Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama Abdullah yang mereka semua di beri julukan Al-Abadillah.
Ibnu Abbas pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan Ali. penduduknya tertutur tentang sepak terjang beliau, “ ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara”. Yaitu apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya. Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut). Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.
Abdullah bin Abbas meriwayatkan sekitar 1660 hadist. Dia sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadist. Sesudah Aisyah. Pada akhir masa hidupnya, ibnu Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Thaif hungga wafat pada tahun 68 H diusia 71 tahun.
Demikianlah, Ibnu Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlak ulama.[1]

D. Syarah Hadist
Dari kitab syarah hadist Faidhul Qadir juz 2 yang kami terjemahkan dapat diperoleh beberapa hal penting dari maksud hadist tersebut, diantaranya : Bahwa beberapa umat Nabi Muhammad SAW memperdalam atau memahami hukum agama, dan mereka itu disebut ahli fiqh. Dan mereka membaca Alqur’an.
Sebagian mereka berkata kepada yang lain, bahwa mereka mendatangi para pemimpin yakni orang yang menguasai urusan manusia dan mereka mendapatkan kedudukan duniawi dari kepemimpinannya tersebut.
Hal tersebut merupakan racun yang mematikan karena bergabung dengan para pemimpin tersebut merupakan kunci atau pembuka dari berbagai kesalahan atau kekeliruan.
Imam Ghazali mengatakan : jika hati para ulama atau pemimpin condong kepada urusan dunia dan seisinya, maka Allah akan menghilangkan sumber-sumber ilmu hikmah (rahasia Allah yang berhubungan dengan perbuatan baik seseorang) sebagai petunjuk dari hati para pemimpin atau ulama tersebut dan Allah juga akan mematikan lampu-lampu (cahaya) kebaikan-kebaikan.[2]

E .Aspek Tarbawi
Para pemimpin (ulama) hendaknya tidak menggunakan ilmunya untuk bergaul dengan para pemimpin agar memperoleh kenikmatan duniawi.
Tujuan menuntut ilmu adalah untuk menghiasi batinya dengan sesuatu yang akan mengantarkan kepada Allah SWT tidak berdekatan dengan penghuni tertinggi dari orang-orang yang didekatkan, tidak dimaksudkan untuk menperoleh kekuasaan, pangkat maupun harta.[3]
Dan salah satu tanda dari orang-orang yang beruntung tidak didekatkan kepada Allah adalah orang yang tidak mencari dunia dengan ilmunya.[4]


DAFTAR PUSTAKA


Http : // www. Lingkaran. Org / Biografi- ibnu-Abbas. Html

Faidhul Qadir, juz 2

Ghozali, Al.1990. Mutiara Ihya Ulumuddin, Bandung, Mizan.

 Ghozali, Al. Ihya Ulumuddin,  terjemahan Drs.H. Moh Zuhri. Jilid 1 Semarang : asy syifa.


[1] Http : // www. Lingkaran. Org / biografi- ibnu-Abbas. html
[2] Faidhul Qadir, juz 2
[3] Al Ghozali, Mutiara Ihya Ulumuddin, (Bandung, Mizan, 1990) H.35
[4] Al Ghozali, Ihya Ulumuddin, terjemah  Drs.H. Moh Zuhri. Jilid 1 (Semarang,asy syifa), H. 188

QIYAS


A.    Pengertian Qiyas
Secara etimologis, kata qiyas berartiقدر  , artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya.
Tentang arti qiyas menurut terminologi (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya, Diantara definisi itu adalah:
1.      Al-Ghazali dalam Al-Mustshfa memberi definisi qiyas:
حَمْلَ مَعْلُوْ مٍ فِيْ إِثْبَاتِ حُكْمٍ لَهُمَا أَوْنَفِيْهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَا مِعٍ بَيْنَهُمَا مِنْ إِثْبَاتِ حُكْمٍ أَوْ نَفِيْهِ عِنْهُمَا

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yangdiketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari  keduanya disebabkanada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
2.      Abu Hasan al-Bashri memberi definisi:
تَهْسِيْلُ حُكْمِ اْلأَصْلٍ فِى الْفَرْعِ ِلاِشْتِبَا هِهِمَا فِيْ عِلَّةِ الْحُكْمِ عِنْدَ الْمُجْتَهِدِ
Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid.
3.      Ibnu Muqadamah mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
حَمْلَ فَرْعٍ عَلَى أَصْلٍ فِيْ حُكْمٍ بِجَا مِعِ بَيْنَهُمَا

Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.

Demikianlah beberapa definisi tentang qiyas yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. Definisi-definisi tersebut berbeda rumusannya, namun berdekatan maksudnya. Ada yang merumuskannya secara sederhana namun padat isinya seperti yang dikemukakan Ibnu Muqadamah. Ada juga yang merumuskannya secara panjang dan agak rumit seperti yang dikemukakan al-Ghazali. Masing-masing definisi itu mempunyai titik lemah sehingga menjadi sasaran kritik dari pihak lainnya.
Dari beberapa definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas, yaitu:
1.      Ada dua kasus yang mempunyai ‘illat yang sama.
2.      Satu diantara dua kasus yang bersamaan ‘illat-nya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
3.      Berdasarkan ‘illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.

Dari uraian mengenai hakikat qiyas tersebut, terdapat empat unsur (rukun) pada setiap qiyas, yaitu:
1.      Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum, ini disebut “maqis ‘alaih” atau “ashal” atau musyabbah bihi”.
2.      Suatu wadah atau hal yang belum ditentukan hukumnya secara jelas dalam nash syara, ini disebut “maqis” atau “furu’ ” atau musyabbah”.
3.      Hukum yang disebutkan sendiri oleh pembuat hukum  (syari’) pada ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu’ dalam ‘illat-nya, para mujtahit dapat menetapkan hukumpada furu’,ini disebut “hukum ashal”.
4.      ‘Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu’.


B.     Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara’
Memang tidak dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa Qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara’.
Dalam penerimaan ulama’ terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’, Muhammad  Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok, yaitu:[1]
1.      Kelompok jumhur ulama’ yang manjadikan sebagai dalil syara’.
2.      Kelompok ulama’ zhahiriyah dan syi’ah imaniah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak.
3.      Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah.

1.      Jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara’ adalah:[2]
a.       Dalil AL-Qur’an
Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan menyamakan dua hal sebagaiman terdapat dalam surat Yaasin ayat 78-79, yang menjelaskan bahwa Allah Swt menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang belulang di kemudian hari dengan kemampuanNya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.
b.      Dalil Sunnah
Diantara dalil sunnah yang dikemukakan oleh jumhur ulama dalam argumentasinya bagi penggunaan qiyas adalah:
Hadits Muadz bin Jabal, dengan arti hadits:
Bahwasanya Rasulullah Saw ketika hendak mengutus Mu’adz ke Yaman bertanya: ‘Dengan cara apakah engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan suatu perkara?’ Mu’adz menjawab: ‘Saya menetapkan hukum berdasarkan hukum Allah.’ Nabi bertanya lagi: ‘Kalau dengan sunnah engkau tidak menemukan dan tidak pula dalam kitab Allah?’ Muadz menjawab: ‘Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya.’ Nabi bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul dengan apa yang diridhai Rasul Allah.’

Hadits tersebut menurut jumhur ulama merupakan dalil sunnah yang kuat tentang kekuatan qiyas sebagai dalil syara’.
c.       Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar adalah sebagai berikut:
Atsar ini menjelaskan tentang perintah menggunakan ra’yu pada waktu tidak menemukan jawaban dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah.
Ada tiga kelompok ulama yang menolak penggunaan qiyas dalam menetapkan hukum syara’:
1)      Syi’ah Imaniah
2)      An-Nazhah
3)      Zhahiriyah

C.    Syarat-syarat Qiyas
1.      Maqis ‘alaih adalah sesuatu yang memberi petunjuk tentang adanya hukum
2.      Maqia adalah mahal al-musyabbah atau wadah yang hukumnya diserupakan dengan yang lain.
3.  Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu maqis alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu’.
4.      Illat
a.       Bentuk sifat ‘illat:
1)      Sifat hakiki
2)      Sifat hissi
3)      Sifat ‘urfi
4)      Sifat lughawi
5)      Sifat murakkab
b.      Fungsi ‘illat
1)  Penyebab atau penetap yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum.
2)   Penolak, yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
c.       Syarat-syarat illat
1)      Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijasikan sebagai kaitan hukum.
2)      Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
d.      Hubungan illat dengan hukum
Telah dijelaskan bahwa salah satu syarat illat adalah munasabah antara illat dengan hukum (ada hubungan keseuaian illat dengan hukumnya)
e.       Masalik al-Illat
Adalah cara atau metode untuk mengetahui illat dalam suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk pada kita adanya illat dalam suatu hukum.[3]
Masalik al-illat adalah sebagai berikut:[4]
 1)      Nash
Penetapan nash sebagai salah satu cara dalam menetapkan illat tidaklah berarti bahwa illat itu langsung disebut dalam nash, tetapi dalam lafazh-lafazh yang digunakan dalam nash dapat dipahami adanya illat.
2)      Ijma’
Ijma’ sebagai salah satu masalik berarti ijma’ itu menjelaskan illat dalam hukum yang disebutkan pada suatu nash.

3)      Al-Ima’ wa At Tanbih adalah penyertaan sifat dalam hukum.
4)      As-Sabru wa at-Taqsim, adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal, kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi illat, maka sifat yang tertinggal itulah yang menjadi illat untuk hukum ashal tersebut.
5) Takhrij al-Manath adalah usaha menyatakan illat dengan cara mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriringan serta terhindar dari sesuatu yang mencacatkan.
6)  Tanqih al-manath adalah menetapkan satu sifat antara beberapa sifat yang terdapat dalam ashal untuk menjadi illat hukum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lain.
7)    Tahrd adalah penyertaan hukum dengan sifat tanpa danya titik keserasian yang berarti.
8)    Syabah adalah sifat yang memiliki kesamaan
9)  Dawran adalah adanya hukum sewaktu bertemu sifat dan tidak terdapat hukuam sewaktu tidak ditemukan sifat.
10)  Ilgahu al-fariq adalah titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehingga terlihat kesamaannya.

D.    Macam-macam Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
1.      Pembagian qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini qiyas terbagi tiga, yaitu:
a.     Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’.
b.  Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukuam pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum ashal karena kekuatan ‘illatnya sama.
c.   Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memnuhi peryaratan.
2.      Pembagain qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya
Qiyas dari segi kejelasan ‘illat terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a.    Qiyas Jali, yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b.    Qiyas khafi, yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya, diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan ‘illatnya bersifat zhanni.
3.      Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya
Dalam hal ini, qiyas terbagi menjadi tiga:
a. Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b. Qiyas ‘illat, yaitu qiyas yang ‘illatnya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.
c.  Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat.
4.      Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum, terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Qiyas muatssir, yang diibaratkan dengan dua definisi:
Pertama, qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan dengan nash yang shahih atau ijma.
Kedua, qiyas yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu’ itu berpengaruh terhdap ‘ain hukum.
b. Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
5.      Pembagian qiyas dari segi metode yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’, terbagi menjadi empat, yaitu:
a.       Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhlah.
b.      Qiyas syabah, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
c.       Qiyas sabru, yaitu qiyas ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d.      Qiyas thard, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode thard.


[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul, h. 175.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir, h. 31-34; Muhammad Abu Zahrah, Ushul, h. 175-177.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul, h. 192; Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir, h. 62.
[4] Ibn as-Subkhi, Jam’u al-Jawami, II, h. 262-293.