iklan

Senin, 31 Oktober 2011

QIYAS


A.    Pengertian Qiyas
Secara etimologis, kata qiyas berartiقدر  , artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya.
Tentang arti qiyas menurut terminologi (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya, Diantara definisi itu adalah:
1.      Al-Ghazali dalam Al-Mustshfa memberi definisi qiyas:
حَمْلَ مَعْلُوْ مٍ فِيْ إِثْبَاتِ حُكْمٍ لَهُمَا أَوْنَفِيْهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَا مِعٍ بَيْنَهُمَا مِنْ إِثْبَاتِ حُكْمٍ أَوْ نَفِيْهِ عِنْهُمَا

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yangdiketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari  keduanya disebabkanada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
2.      Abu Hasan al-Bashri memberi definisi:
تَهْسِيْلُ حُكْمِ اْلأَصْلٍ فِى الْفَرْعِ ِلاِشْتِبَا هِهِمَا فِيْ عِلَّةِ الْحُكْمِ عِنْدَ الْمُجْتَهِدِ
Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid.
3.      Ibnu Muqadamah mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
حَمْلَ فَرْعٍ عَلَى أَصْلٍ فِيْ حُكْمٍ بِجَا مِعِ بَيْنَهُمَا

Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.

Demikianlah beberapa definisi tentang qiyas yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. Definisi-definisi tersebut berbeda rumusannya, namun berdekatan maksudnya. Ada yang merumuskannya secara sederhana namun padat isinya seperti yang dikemukakan Ibnu Muqadamah. Ada juga yang merumuskannya secara panjang dan agak rumit seperti yang dikemukakan al-Ghazali. Masing-masing definisi itu mempunyai titik lemah sehingga menjadi sasaran kritik dari pihak lainnya.
Dari beberapa definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas, yaitu:
1.      Ada dua kasus yang mempunyai ‘illat yang sama.
2.      Satu diantara dua kasus yang bersamaan ‘illat-nya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
3.      Berdasarkan ‘illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.

Dari uraian mengenai hakikat qiyas tersebut, terdapat empat unsur (rukun) pada setiap qiyas, yaitu:
1.      Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum, ini disebut “maqis ‘alaih” atau “ashal” atau musyabbah bihi”.
2.      Suatu wadah atau hal yang belum ditentukan hukumnya secara jelas dalam nash syara, ini disebut “maqis” atau “furu’ ” atau musyabbah”.
3.      Hukum yang disebutkan sendiri oleh pembuat hukum  (syari’) pada ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu’ dalam ‘illat-nya, para mujtahit dapat menetapkan hukumpada furu’,ini disebut “hukum ashal”.
4.      ‘Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu’.


B.     Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara’
Memang tidak dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa Qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara’.
Dalam penerimaan ulama’ terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’, Muhammad  Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok, yaitu:[1]
1.      Kelompok jumhur ulama’ yang manjadikan sebagai dalil syara’.
2.      Kelompok ulama’ zhahiriyah dan syi’ah imaniah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak.
3.      Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah.

1.      Jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara’ adalah:[2]
a.       Dalil AL-Qur’an
Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan menyamakan dua hal sebagaiman terdapat dalam surat Yaasin ayat 78-79, yang menjelaskan bahwa Allah Swt menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang belulang di kemudian hari dengan kemampuanNya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.
b.      Dalil Sunnah
Diantara dalil sunnah yang dikemukakan oleh jumhur ulama dalam argumentasinya bagi penggunaan qiyas adalah:
Hadits Muadz bin Jabal, dengan arti hadits:
Bahwasanya Rasulullah Saw ketika hendak mengutus Mu’adz ke Yaman bertanya: ‘Dengan cara apakah engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan suatu perkara?’ Mu’adz menjawab: ‘Saya menetapkan hukum berdasarkan hukum Allah.’ Nabi bertanya lagi: ‘Kalau dengan sunnah engkau tidak menemukan dan tidak pula dalam kitab Allah?’ Muadz menjawab: ‘Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya.’ Nabi bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul dengan apa yang diridhai Rasul Allah.’

Hadits tersebut menurut jumhur ulama merupakan dalil sunnah yang kuat tentang kekuatan qiyas sebagai dalil syara’.
c.       Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar adalah sebagai berikut:
Atsar ini menjelaskan tentang perintah menggunakan ra’yu pada waktu tidak menemukan jawaban dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah.
Ada tiga kelompok ulama yang menolak penggunaan qiyas dalam menetapkan hukum syara’:
1)      Syi’ah Imaniah
2)      An-Nazhah
3)      Zhahiriyah

C.    Syarat-syarat Qiyas
1.      Maqis ‘alaih adalah sesuatu yang memberi petunjuk tentang adanya hukum
2.      Maqia adalah mahal al-musyabbah atau wadah yang hukumnya diserupakan dengan yang lain.
3.  Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu maqis alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu’.
4.      Illat
a.       Bentuk sifat ‘illat:
1)      Sifat hakiki
2)      Sifat hissi
3)      Sifat ‘urfi
4)      Sifat lughawi
5)      Sifat murakkab
b.      Fungsi ‘illat
1)  Penyebab atau penetap yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum.
2)   Penolak, yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
c.       Syarat-syarat illat
1)      Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijasikan sebagai kaitan hukum.
2)      Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
d.      Hubungan illat dengan hukum
Telah dijelaskan bahwa salah satu syarat illat adalah munasabah antara illat dengan hukum (ada hubungan keseuaian illat dengan hukumnya)
e.       Masalik al-Illat
Adalah cara atau metode untuk mengetahui illat dalam suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk pada kita adanya illat dalam suatu hukum.[3]
Masalik al-illat adalah sebagai berikut:[4]
 1)      Nash
Penetapan nash sebagai salah satu cara dalam menetapkan illat tidaklah berarti bahwa illat itu langsung disebut dalam nash, tetapi dalam lafazh-lafazh yang digunakan dalam nash dapat dipahami adanya illat.
2)      Ijma’
Ijma’ sebagai salah satu masalik berarti ijma’ itu menjelaskan illat dalam hukum yang disebutkan pada suatu nash.

3)      Al-Ima’ wa At Tanbih adalah penyertaan sifat dalam hukum.
4)      As-Sabru wa at-Taqsim, adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal, kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi illat, maka sifat yang tertinggal itulah yang menjadi illat untuk hukum ashal tersebut.
5) Takhrij al-Manath adalah usaha menyatakan illat dengan cara mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriringan serta terhindar dari sesuatu yang mencacatkan.
6)  Tanqih al-manath adalah menetapkan satu sifat antara beberapa sifat yang terdapat dalam ashal untuk menjadi illat hukum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lain.
7)    Tahrd adalah penyertaan hukum dengan sifat tanpa danya titik keserasian yang berarti.
8)    Syabah adalah sifat yang memiliki kesamaan
9)  Dawran adalah adanya hukum sewaktu bertemu sifat dan tidak terdapat hukuam sewaktu tidak ditemukan sifat.
10)  Ilgahu al-fariq adalah titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehingga terlihat kesamaannya.

D.    Macam-macam Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
1.      Pembagian qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini qiyas terbagi tiga, yaitu:
a.     Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’.
b.  Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukuam pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum ashal karena kekuatan ‘illatnya sama.
c.   Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memnuhi peryaratan.
2.      Pembagain qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya
Qiyas dari segi kejelasan ‘illat terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a.    Qiyas Jali, yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b.    Qiyas khafi, yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya, diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan ‘illatnya bersifat zhanni.
3.      Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya
Dalam hal ini, qiyas terbagi menjadi tiga:
a. Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b. Qiyas ‘illat, yaitu qiyas yang ‘illatnya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.
c.  Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat.
4.      Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum, terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Qiyas muatssir, yang diibaratkan dengan dua definisi:
Pertama, qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan dengan nash yang shahih atau ijma.
Kedua, qiyas yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu’ itu berpengaruh terhdap ‘ain hukum.
b. Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
5.      Pembagian qiyas dari segi metode yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’, terbagi menjadi empat, yaitu:
a.       Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhlah.
b.      Qiyas syabah, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
c.       Qiyas sabru, yaitu qiyas ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d.      Qiyas thard, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode thard.


[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul, h. 175.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir, h. 31-34; Muhammad Abu Zahrah, Ushul, h. 175-177.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul, h. 192; Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir, h. 62.
[4] Ibn as-Subkhi, Jam’u al-Jawami, II, h. 262-293.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar